Tan Sun Nio, seorang gadis keturunan Tionghoa yang jelita dan sangat menyukai tantangan, berasal dari kampung Balong Surakarta. Disebabkan oleh sumpah yang terlanjur diucapkannya saat dikhianati sang kekasih, ia membuang diri ke Flores, menyusul kakak laki-lakinya, Tan Seng Hun, yang telah terlebih dulu membuang diri ke Ende, Flores.
Tak dinyana, sesampainya di sana, ia justru menjadi milyuner dadakan karena limpahan harta warisan Koh Seng Hun yang tewas dibunuh. Mulailah Sun Nio menjalankan kerajaan niaganya, termasuk perniagaan gelap candu yang membawanya berurusan dengan Bevy de Aguia Leste, sekelompok bajak laut yang dikoordinasi secara rapi menyerupai jaringan Mafioso di Sisilia.
Sementara itu, Raden Mas Rangga Puruhita, keturunan ningrat terpelajar, sarjana ekonomi lulusan Leiden, juga dibuang ke Flores karena dianggap terlibat dalam gerakan melawan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Di Flores – pulau yang baru saja beralih kekuasaan dari Portugis ke Belanda – inilah, Tan SunNio dan Rangga bertemu. Pertemuan yang pada awalnya sebagai lawan yang saling berhadapan, berkembang menjadi sebaliknya karena rasa ketertarikan di antara mereka dan sama-sama terjebak dalam sebuah konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan ambisi pribadi, kekuasaan politik dan ekonomi.
***
Kematangan Afifah Afra
Da Conspiracao adalah novel sekuel ketiga dari tetralogi De Winst karya Afifah Afra. Dua buku sebelumnya adalah De Winst dan De Liefde. De Winst bisa disebut sebagai novel pembuka, sedangkan De Liefde dan Da Conspiracao adalah dua novel kelanjutannya dengan seting waktu yang sama (1920 -1930-an), tetapi seting tempat berbeda. Jika De Liefde berseting di pulau Jawa dan negeri Belanda, Da Conspiracao mengambil tempat di Hindia Belanda (Indonesia) bagian timur yaitu di kepulauan Flores dan Makasar. Tokoh utamanya pun berbeda. Tokoh utama De Liefde adalah Sekar Prembajoen (adik sepupu Rangga Puruhita) dan Everdine Kareen Spinoza (istri Rangga Puruhita).Sedangkan tokoh utama di Da Conspiracao adalah Tan Sun Nio dan Rangga.
Buku ini merupakan karya Afra kesekian kalinya yang bergenre historical fiction. Sebelumnya ia juga telah menghasilkan trilogi his-fic: Bulan Mati di Javasche Oranje, Syahid Samurai, dan Peluru di Matamu. Masih jarang penulis Indonesia yang tertarik menulis genre ini, karena dibutuhkan studi literatur yang lama dan mendalam. Membandingkannya dengan karya-karyanya yang bergenre sama, agaknya semakin terlihat kematangan dan kepiawaian seorang Afifah Afra dalam meramu konflik yang tajam dan berliku.
Pada trilogi Bulan Mati di Javasche Oranje, terkesan bahwa penulis masih tertatih-tatih dalam menulis jenis his-fic. Konflik agak kurang tertata dengan baik dan beberapa di antaranya terlihat dipaksakan. Sedangkan pada tetralogi De Winst, terutama pada Da Conspiracao ini, konflik tertata padat dan diracik secara apik hingga menghasilkan suspence di akhir cerita.
Gaya Penceritaan
Novel ini dibuka dengan kisah perjuangan terakhir Mari Longa (1907),tokoh nyata dalam sejarah perjuangan Flores yang tak banyak dikenal. Kemudian beralih menceritakan tokoh fiktif TanSun Nio dan Rangga dengan menggunakan sudut pandang orang pertama (aku/saya) secara bergantian. Secara lincah Afra menata alur waktu yang pada awalnya melompat-lompat, menjadi alur maju setelah Sun Nio dan Rangga bertemu. Alurseperti ini menyebabkan pembaca tidak cepat merasa bosan karena merasa‘didongengi’.
Gaya penceritaan yang membatasi sudut pandang hanya pada 2 tokoh pun,secara cerdas ditata sehingga kekurangan jenis point of view seperti ini bisa tersamarkan. Pembaca tetap dapat mengetahui pemikiran-pemikiran di luar tokoh Rangga dan Tan Sun Nio melalui dialog-dialog para tokohnya dan persepsi Rangga atau Tan Sun Nio terhadap mereka.
Sebagai novel fiksi sejarah, penulis telah sukses memadukan antara fiksi dan non fiksi. Meskipun alur cerita dan sebagian besar tokoh di novel ini tetaplah fiktif dan tidak bisa dijadikan acuan fakta sejarah, namun cerita-cerita yang melatarbelakangi atau disisipkan di dalamnya merupakan fakta sejarah yang memang terjadi. Sebagai contoh adalah pemaparan sekilas tentang revolusi Tiongkok dan Perang Candu di Cina; latar belakang diterapkannya politik etis oleh Sri Ratu Wilhemina; serta kisah sejarah perjuangan Raden Mas Said atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Samber Nyawa.
Membaca novel ini menjadikan saya berpikir, jika saja diktat-diktat sejarah itu ditulis dengan menggunakan teknik penulisan seperti dalam novel,tentunya akan sangat mengasyikkan dalam membaca dan mempelajarinya. Akan banyak peristiwa dan pemikiran para tokoh pahlawan yang lebih mudah ‘nyanthel’ (Jawa: tersangkut/selalu ingat) dalam ingatan. Hikmah yang bisa dipetik dari suatu peristiwa bersejarah atau sikap para tokohnya pun akan lebih mudah dipahami dan dimengerti serta meninggalkan kesan yang mendalam.
Adapun hikmah yang bisa didapat dari membaca buku ini antara lain,orang yang sepertinya baik dan bersikap manis pada kita belum tentu adalah teman sejati kita. Dan sebaliknya, orang yang menyebalkan sekalipun, suatu waktu bisa menjadi teman yang bermanfaat bagi kita. Hal ini tercermin pada tindakan tentara indo Herman Zondag yang menyelamatkan Rangga dari jebakan Tan Sun Nio. Sehari-harinya, Zondag adalah tentara yang selalu mengawasi gerak-gerik Rangga sebagai seorang internir dengan sikap yang amat menyebalkan. Tetapi di saat yang tepat ia hadir untuk menyelamatkan Rangga.
Hikmah lainnya juga didapat, justru pada sikap tentara rendahan semacam Herman Zondag ini yang tak mau menerima uang (sogokan) selain dari gaji (hal 235). Juga sikap seorang penduduk miskin di kampung nelayan yang tak mau menerima uang yang tidak jelas kehalalannya (hal 360-361). Bandingkan saja dengan kondisi saat ini dimana banyak para pejabat yang jelas-jelas berkecukupan tapi masih saja menerima bahkan mencari-cari fulus tanpa peduli halal ataukah haram. Namun demikian, pada masa itu kita juga disuguhi gambaran bahwa perilaku kotor itu telah ada sejak jaman dulu. Perilaku kotor, bahwa untuk sebuah bisnis yang dapat menghasilkan uang dan kekuasaan begitu besar, apapun bisa dilakukan, termasuk menghilangkan nyawa pesaing (hal 286). Bahwa untuk mewujudkan ambisi dan kekuasaan, apapun bisa dilakukan, termasuk menyaru menjadi kawan dan bermain dalam jejaring rumit berbagai pihak yang saling berhadapan.
Indonesia dan Perbedaan Budaya
Membaca buku ini, saya sangat terkesan oleh perbincangan antara Rangga dengan Asisten Residen (hal 213-214) dan juga antara Rangga dengan Mari Nusa (tokoh fiktif yang diceritakan masih ada hubungan darah dengan Mari Longa), yang sedang menyaru sebagai Hasan (hal 269-270). Perbincangan yang memaparkan fakta bahwa untuk mendirikan negara bernama Indonesia ini akan sangat sulit karena banyaknya perbedaan yang ada. Belum lagi wilayahnya yang cukup luas terbentang dari Sabang sampai Merauke dan lebih dari dua pertiga wilayahnya adalah lautan. Negara yang apabila dikelola dengan baik; mempunyai angkatan laut yang cukup tangguh; memiliki banyak ahli ingenieur yang mampu mengelola kekayaan laut yang sangat berlimpah, tentunya akan menjadikan Indonesia menjadi negara maritim yang kuat dan berjaya. Sungguh ironis membandingkan cita-cita para pejuang dahulu dengan kondisi yang ada saat ini.
Saya pandang penulis juga sangat brilian dalam hal pemilihan judul. Tiga buku –dari rencana tetralogi –yang telah terbit, ketiga-tiganya memakai bahasa asing yang singkat, menarik,mudah diingat dan menjiwai keseluruhan isi buku masing-masing. Judul dua buku sebelumnya menggunakan bahasa Belanda, yaitu De Winst dan De Liefde, karena berhubungan dengan masa kependudukan Belanda saat itu dan sesuai dengan sebagian seting novel yang bertempat di negeri Belanda. Sedangkan novel ketiga ini mengambil judul dari bahasa Portugis, karena latar belakang sosiokultural Flores yang sebelumnya menjadi tanah jajahan Portugis.
Beberapa Kekurangan
Sungguh amat disayangkan novel yang sangat berkualitas ini memiliki kualitas cetakan yang (maaf) seperti buku bajakan. Lay-out halaman dengan tulisan yang nyaris terpotong dan banyak halaman yang kosong banyak dijumpai sejak awal buku, tengah, sampai akhir buku yang berisi catatan kaki. Hal ini amat mengganggu kenyamanan pembaca karena ada bagian cerita yang hilang dan kata-kata asing/bahasa daerah setempat yang tidak bisa diketahui artinya dengan tepat. Saya tidak tahu apakah buku yang saya punyai ini adalah khusus hasil pemesanan pre-order yang proses pencetakannya terburu-buru mengejar deadline, ataukah sekarang ini telah ada cetakan baru dengan kualitas cetakan yang lebih baik daripada buku yang saya miliki ini.
Kekurangan yang lain adalah kesalahan penulisan kata ganti orang yang seharusnya “aku/saya” tertulis“ia/nya”. Kesalahan yang lebih fatal adalah penulisan nama orang. Yang seharusnya “Maria” tertulis “Mari” atau pada awalnya tertulis “La Vong” tetapi selanjutnya tertulis “Va Long”, mana yang benar? Kesalahan-kesalahan seperti ini seharusnya menjadi tanggung jawab editor atau proof reader untuk meminimalisirnya.
Selain itu saya sedikit merasakan kejanggalan saat tokoh Rangga bertutur menyertakan pembaca, bertanya dengan nada retoris kepada pembaca: “Tahukah Anda, mengapa aku lebih senang mengatakan Tionghoa dibandingkan China?” (hal 108), atau “Tahukah Anda, mengapa aku begitu resah dengan kehilangan ini?” (hal 133). Saya tak merasa aneh jika kalimat tersebut ada pada buku-buku bergenre populer masa kini yang seting waktunya tak berbeda jauh dengan pembaca saat ini. Namun hal ini menjadi aneh manakala kalimat itu ada pada novel bergenre history yang berjarak sangat panjang dengan pembaca. Agaknya penulis juga harus sedikit membatasi diri dengan penggunaan kosa kata populer yang belum ada pada masa itu. Kosa kata seperti ri’ayah (hal 33) atau cuek (hal51) tentunya belum dikenal pada jaman dulu.
Akhirnya saya berharap bahwa novel ini hanyalah salah satu karya masterpiece penulis Afifah Afra. Mengapa hanya salah satu? Karena harapan saya, buku keempat, yang nantinya akan menjadi buku pamungkas tetralogi De Winst, maupun karya-karya Afra selanjutnya akan lebih masterpiece lagi.
Dan semoga ke depan akan semakin banyak peristiwa bersejarah yang dinovelkan sehingga pelajaran sejarah tidak lagi berisi hafalan-hafalan tahun kejadian yang menjemukan.
Judul Buku : Da Conspiracao
Penulis : Afifah Afra
Penyunting : Mastris Radyamas
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Terbit : Cetakan Pertama, September 2012
Ketebalan : 632 halaman
Ukuran : 14 cm x 20,5 cm
ISBN : 978-602-8277-66-2
Harga Buku : Rp 65.000,00
(Resensi Ini Ditulis Oleh Frida Ari Yuliani, dan meraih Juara 3 Lomba Menulis Resensi Buku Indiva 2013)