Setiap kali mendengar kata Palestina, langsung saja pikiran kita akan tertuju pada konflik berkepanjangan yang tak kunjung akhir. Dalam keyakinan Islam Palestina akan terus membara dan berakhir menjelang kiamat setelah mengalahkan Yahudi. Perlawanan demi perlawanan rakyat Palestina beserta simpatisan di seluruh dunia pun tak kunjung usai. Dari demo hingga karya sastra
Karya sastra yang memperjuangkan dan membela Palestina dari penulis Palestina sendiri ada kumpulan cerpen yang berjudul Peluru Ini Untuk Siapa. Kumpulan cerpen ini karya Jihad Rajbi, penulis besar wanita Palestina. Cerpen-cerpen di dalamnya banyak bercerita tentang perjuangan intifadhah pejuang Palestina dalam melawan pendudukan Israel
Ada pula sebuah novel tentang Palestina yang berjudul Sognando Palestina karya Rhanda Ghazy, penulis belia yang masih berumur 13 tahun keturunan imigran Mesir yang pindah ke Italia tahun 1970-an. Novel ini telah menjadi best seller internasional dan telah diterjemahkan ke dalam 10 bahasa di 14 negara. Penulis barat pun cukup banyak yang menyuarakan pembelaannya terhadap Palestina melalui tulisan.
Di Indonesia bisa dibilang masih sedikit karya pembelaan terhadap Palestina. Dimulai dengan berkembangnya gerakan Tarbiyah yang berkiblat pada gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Pembelaan terhadap Palestina tidak hanya mereka lakukan dengan aksi demo dan sumbangan dana. Namun, juga dengan penulisan cerpen dan novel bertema perjuangan Palestina. Maka, lahirlah karya-karya tulis yang membela Palestina, walau belum bisa dibilang banyak. Yang paling mutakhir adalah Rinai, salah satu novel karya penulis Indonesia yang menjadi sastra pembelaan pada Palestina sekaligus perlawanan terhadap Israel.
Rinai Hujan tokoh utama novel ini adalah mahasiswi jurusan psikologi, ia termasuk mahasiswi yang cukup pintar dan rajin. Dalam sebuah seleksi mahasiswa dan mahasiswi yang akan menjadi asisten dosen dalam penelitian sekaligus relawan di
Palestina, Rinai terpilih. Sebenarnya saingannya cukup ketat dan banyak, karena kerendahatiannya dia dipilih oleh Nora, dosen yang menjadi relawan dan peneliti di Gaza.
Perjalanannya di bumi Gaza penuh intrik dan ketegangan. Bukan hanya karena keadaan yang harus selalu hati-hati karena perang yang tak mengenal waktu, Selain itu pula sebab antar relawan yang seringkali ricuh karena perbedaan sudut pandang kedatangan mereka ke Gaza walaupun dalam naungan satu lembaga.
Mereka terbagi dalam beberapa kelompok, tim trauma healing yang di dalamnya termasuk Rinai, juga ada tim kesehatan, juga wartawan. Timtrauma healing terbagi dua yang pertama adalah negoisator yang dipimpin oleh Taufik Sulaiman dan gelombang kedua sebagai klinisian dipimpin oleh Nora Efendi. Keduanya yang seringkali terjadi friksi yang kadang cukup menegangkan walau hanya melalui mulut tanpa tindak kekerasan.
Sinta Yudisia sebagai penulis yang memang pernah beberapa hari berkunjung ke Gaza tak hanya menawarkan setting Mesir dan Gaza yang meyakinkan. Namun, dia juga memasukkan ilmu-ilmu yang dia serap ketika kuliah Psikologi. Tak jarang pembaca akan menemui istilah-istilah dalam ilmu psikologi dalam novel ini. Menurut saya itu sedikit mengganggu kenyamanan membaca. Namun, ada baiknya juga karena dengan ilmu psikologi itu novel ini semakin berisi dengan ilmu pengetahuan tanpa hanya mengandalkan imajinasi dan diksi.
Ketika saya stalking blog, ada beberapa pembaca yang tidak menyelesaikan lantaran di bab awal novel ini sudah terlihat serius dan berat. Namun, tak jarang juga yang menyukai novel bertema seperti Rinai cepat menyelesaikan halaman perhalaman novel ini. Ini menjadi bahan evaluasi bagi penulis agar ke depannya mampu membuat novel yang berbalut dengan psikologi ataupun sains dengan lebih baik lagi. Lebih baik di sini maksudnya lebih halus dan tidak berat seperti sebagian pembaca yang akhirnya terpaksa menaruh novel ini di rak buku tanpa membacanya. Sangat disayangkan, padahal novel ini begitu inspiratif dan membangun pemikiran pembaca menuju yang lebih baik.
Salah satu topik yang banyak dibahas dalam novel ini adalah tentang ilmu psikologi psikoanalis Sigmund Freud. Rinai seringkali bermimpi ular. Tak hanya itu mimpi itu selalu terbayang-bayang dalam kehidupan sehari-harinya seakan tak bisa dilupakan. Jika dikaitkan dengan teori Freud, ular seringkali direpresentasikan dengan alat reproduksi lelaki. Padahal, tidak sama sekali Rinai pun dalam dunia nyatanya dia memikirkan hal itu. Apatah lagi mimpi itu terus terhubung ke alam nyata, hal itu sunggu mengganggu Rinai.
Singkat cerita, Rinai menemukan referensi lain. Sebuah kitab fenomenal dari ulama Islam yang terkenalMuqaddimah karya Ibnu Khaldun. Menurut Ibnu Khaldun, ular itu representasi permusuhan. Nah, hal itu terlihat jelas banyak permusuhan yang mengintai Rinai. Bisa dari bundanya, bapaknya, pak de Harun, Bu Nora, Amaretta.
Selain itu pula, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa mimpi yang benar adalah mimpi yang masih melekat tanpa mengingat saat telah terbangun itu bisa jadi mimpi yang benar. Sedangkan sebaliknya, bila mimpi itu mudah terlupa dengan kata lain ketika bangun mimpi itu sudah tidak ada lagi dalam ingatan, maka itu mimpi yang keliru.
Tak hanya tentang intrik perbedaan cara pandang, konflik di Gaza, teori psikologi Ibnu Khaldun versusSigmund Freud, novel ini juga bercerita tentang pergolakan asmara Rinai di tanah konflik. Dia bertemu dengan seorang pemuda baik nan salih, Montaser. Rinai menamainya bermata toyor aljannah, bermata seperti burung-burung surga.
Cinta Rinai padanya hanya dalam diam dan tanpa pengungkapan. Karena dia sadar kualitas dirinya jauh sekali dibanding Montaser. Sampai dia berpulang ke Indonesia, perasaan istemewa itu tak pernah tersampaikan. Namun, itu terasa lebih baik baginya. Karena, kadang kehilangan jauh lebih baik, sebab memberikan kepastian. Perasaan ingin memiliki tanpa tujuan akhir hanya melahirkan angan-angan panjang dan kemarahan terpendam (halaman 373).
Maka bukan salah bila karya sastra ini sangat memukau. Karya sastra perjuangan dan pembelaan terhadap kezaliman Israel terhadap Palestina yang jarang ditemui di Negeri ini. Dari novel ini pula kita akan mempelajari arti cinta tanah air, cinta pada sesama, cinta yang berbeda dengan rasa ingin memiliki dan cinta pada Islam yang haq.
Novel ini juga menyuguhi kover yang menarik, dengan memberikan latar tanah Palestina yang luluh lantak dibombardir pasukan Israel. Pembaca seakan dibawa ke tanah Para Nabi tersebut. Maka novel ini pun pantas menjadi salah satu novel yang wajib Anda baca.
Keberhasilan novel ini tak luput dari andil dari penerbit Indiva Media Kreasi yang menerbitkan novel ini. Penerbit yang konsisten menerbitkan buku-buku yang mencerahkan ini belakangan mampu memoles kover dengan begitu apik. Melihat perkembangan awalnya, kover buku-buku yang diterbitkan Indiva masih belum menarik. Walau begitu, selalu saja buku terbitan Indiva selalu dinanti pembaca setianya. Kebanyakan mereka memang dari aktivis FLP (Forum Lingkar Pena), yang mana buku-buku yang diterbitkan oleh Indiva memang kebanyakan pula dari senior FLP, seperti Afifah Afra dengan buku seri sekuel The Wintsnya, Boim Lebon yang masih setia dengan kisah komedinya, Muthmainnah denganPingkannya, Asa Mulchias, termasuk Sinta Yudisia sendiri dengan Rinainya.
Harapannya, Indiva bisa melebarkan sayap-melakukan kreativitas dan inovasi dengan melahirkan karya-karya yang tidak hanya dibaca oleh sebagian kalangan saja. Karena, semakin banyak yang baca, insya Allah semakin banyak pula yang tercerahkan. Namun, tetap dengan visi misi yang ada sejak awal Indiva hadir di tengah-tengah pembaca, mencerahkan tanpa mengikuti selera pasar. Semoga Indiva semakin jaya dan berkah!
(Muhammad Rasyid Ridho, Pustakawan Koordinator Klub Buku Booklicious-Malang, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UMM, Pemenang Harapan 1 Lomba Menulis Resensi Indiva 2013).