Wawancara dengan Mell Shaliha, Penulis Novel The Dream in Taipei City
Oleh: Ayoe
Semilir angin membuai dedaunan hingga terlihat liuk-liuknya
Tanah perlahan mengeras karena air enggan bertandang
Hawa panas bergelut dengan sejuk oksigen hasil racikan asam arang dan air
Matahari tetap menjadi pemeran utama
Pelaku nomor satu
Dia tak tergantikan
*penulis sebenarnya ingin membuat puisi seputar Gunung Kidul, tapi kok malah terkesan ngalor-ngidul #plak.
* * *
Assalamu’alaikum Indivalovers,
Kali ini penulis akan mengupas tuntas tentang seorang penulis berbakat yang biasa dipanggil Mell. Nama penanya Mell Shaliha. Tahu dong ya? Itu tuh yang meracik novel The Dream In Taipei City yang baru diterbitkan sebulan, sudah cetak ulang. Tak kenal maka ta’aruf *hehe.. kenalan dulu yuk sama Mbak Mell. *sodorin tangan.
Penulis yang mempunyai nama asli Ermawati ini berasal dari sebuah daerah yang “katanya” berada di atas kota Jogja, belum pelosok dan tidak susah air, Gunung Kidul. Seusai lulus SMK Perhotelan, Mell bekerja selama setahun menjadi SPG di salah satu mall di Jogja. Namun karena penghasilannya belum cukup untuk merealisasikan mimpinya untuk kuliah dengan biaya sendiri, akhirnya Mell nekad kerja di luar negeri.
Selain karena dorongan pendidikan, Mell juga didorong untuk mencari pengalaman lebih. Mell ingin mempraktikkan bahasa Inggris dengan orang asing. Mell berhasil menginjakkan kaki di negeri Cina dan berhasil mewujudkan keinginan terpendamnya, ingin bertemu dengan Andy Lau alias Yoko dan ingin bertemu dengan Bibi Leung. *Hahaha… ada-ada saja.
Tak tanggung-tanggung, Mell bekerja di Hongkong sejak tahun 2004 sampai awal tahun 2010, enam tahun. Pekerjaannya? Sama halnya dengan buruh migran lainnya, yakni menjadi pembantu rumah tangga. Eits, tapi jangan salah. Biarpun hanya menjadi PRT dan hanya lulusan SMK, daya gedor Mell dalam hal tulis-menulis itu sungguh sangat luar biasa. Coba deh cek hasil karya Mell, berapa judul novel yang sudah dituliskan tangan emasnya? Banyak kan?
Nah, balik lagi ke cerita Mell ketika masih bekerja di Hongkong. “Alhamdulillah di Hongkong saya dapat employer yang demokratis, mengizinkan saya berjilbab dan beribadah, itu tidak sama dengan BMI (Buruh Migran Indonesia) lain, Mbak. Jadi saya pikir itulah jalan Allah untuk saya.” Jawab Mell ketika ditanya soal pengalamannya bekerja di sana.
Mell melanjutkan ceritanya, “Pengalaman kerja di luar negeri jelas berat. Saya harus bisa membagi waktu dengan baik. Orang Hongkong tidak suka dengan keterlambatan, sangat detail dan disiplin dalam segala hal. Dalam 24 jam, saya kadang hanya tidur 4-5 jam. Karena pekerjaan saya super banget, saya harus mengurus dua anak yang masih SD. Segala keperluan belajar dan kesehariannya tidak boleh luput dari perhatian. Dan repotnya, saya harus mendampingi kegiatan belajar hingga mengerjakan PR. Orang Hongkong tidak selalu bisa berbahasa Inggris, jadi saya harus mengajari anak-anak untuk itu. Saya akan dihukum jika menggunakan bahasa nasional Hongkong dengan anak-anak (Kantonis), karena mereka harus bisa berbahasa Inggris dengan baik.
Di sisi lain, saya juga merawat nenek yang usianya 92 tahun dalam satu rumah juga. Nenek tidak bisa berbahasa Inggris, jadi saya harus menggunakan dua bahasa setiap hari (tapi ada untungnya jadi terbiasa dengan bahasa Cina). Pekerjaan lain adalah pekerjaan rumah, tau kan? Membuat sarapan wajib, mengurus seragam anak, membantu nenek sarapan, mencuci, bersih-bersih all room every day, belanja ke pasar, memasak, memandikan nenek, mengantar anak-anak les di luar kegiatan sekolah dan mengepel dua kali dalam sehari. *jangan dibayangin. Kadang saya menulis setelah jam 12 malam selama 1-2 jam.
Jika Deadline (karena saya dipilih menjadi kontributor tabloid dwi mingguan yang terbit di Hongkong sejak 2007 sampai sekarang) saya tidur hanya 2 jam saja. Saya pergi liputan dan ke forum jika hari minggu, itu juga libur saya dua minggu sekali. Liputan mendadak, misal ada BMI yang bunuh diri, saya harus bisa mencuri waktu dan kabur untuk liputan ke TKP. Sebenarnya majikan tahu saya suka kabur dan menitipkan nenek duduk di mall sementara anak-anak sekolah, tapi mereka tidak pernah protes karena takut saya pulang Indonesia.”
Pengalaman yang sangat super tersebut nyatanya mampu menjadikan sosok Mell yang sekarang. Sekarang, masuk ke proses kreatif, ya? Mell mengaku pernah mengikuti training kepenulisan. Setahun bisa sekali sampai dua kali saat FLP Hongkong mengadakan workshop, selebihnya sharing dengan teman-teman FLP, dan banyak membaca buku.
Ketika ditanya apa yang memotivasinya hingga keluarlah keinginan melahirkan karya, Mell menjawab dengan jujur. “Jika saya tidak bisa menjadi penulis, lantas mau jadi apa? Melihat teman-teman bisa meraih cita-cita menjadi guru (cita-cita saya dulu jadi guru bahasa) dan sukses dengan gelar mereka, saya terlecut untuk move on, mengambil jalan lain dan tidak mau setengah-setengah. Jadi saya terus belajar secara otodidak bagaimana mengolah ide menjadi cerita dengan banyak membaca karya orang lain, menonton (drama, berita, dll.), dan sharing.”
Lecutan motivasi Mell dalam merealisasikan mimpinya untuk menulis telah mengantarkannya melahirkan novel terbaru yang berjudul The Dream In Taipei City. Novel yang bersetting di Taiwan ini ternyata terinspirasi dari tokoh drama Korea dan Taiwan. “Kebanyakan inspirasi saya memang dari cowok-cowok cakep mbak,” kelakarnya. “Pertama, saya harus menyukai tokoh dulu baru mencari inspirasi. Langkah selanjutnya adalah bagaimana biar saya bisa dekat dengan mereka secara invisible.” lanjutnya.
Pengalamannya selama 6 tahun di Hongkong tentunya sangat membekas dan hidup selamanya di benak seorang Mell. Mell paham situasi negara Cina, baik dari budaya dan keadaannya. Kepahamannya itulah yang menjadi latar dalam cerita sesuai pengalaman. Benar saja, mari kita lihat, hampir semua karya Mell berbau Cina. *hmm… penulis manggut-manggut.
Berbicara soal karya, novel pertama Mell yang berhasil terbit berjudul Xie Xie N De Ai (Hongkong, Terima kasih Untuk Cintamu). Novel ini terbit tahun 2011 dan berhasil cetak ulang. Kesuksesannya di novel pertamanya ini membuat Mell semakin percaya diri untuk menghasilkan karya-karya lain.
Penghargaan yang berhasil Mell raih di antaranya: Juara 2 Menulis Esay kreatif FLPHK 2008, Juara 2 Lomba cipta puisi Tabloid Apa Kabar Indonesia 2008, dan Juara harapan 1 Lomba cerpen Lingkungan Hidup 2008.
Terakhir, pesan Mell untuk u teman-teman yang sebenarnya jago nulis, tetapi belum mau menuliskannya ke dalam sebuah karya, karena masih takut-takut, ini nih:
- Percaya diri agar tidak malu disaat karya kita dibaca orang lain.
- Jangan menutup diri dari lingkungan dan lebih baik banyak bergaul serta belajar dari semua peristiwa yang selalu kita jumpai.
- Jangan takut kritikan. Siapkan mental saat tulisan kita ditolak, berpikir positif terhadap masukan dari orang lain/pembaca, karena itu juga demi kemajuan karya kita.
- Menjaga hubungan baik dengan penerbit, editor, lingkungan, dan bersaing secara smart dengan sesama penulis. Juga, bergabung dalam komunitas kepenulisan baik melalui media maupun langsung.
- Terapkan jam terbang setiap hari untuk menulis.
Sip bin yahud bukan? Dengan membaca budaya Cina, Mell mampu melahirkan karya. Terima kasih Mbak Mell atas waktunya. Semoga sukses selalu dan istiqomah berkarya. 🙂
Wassalamu’alaikum.
(Ditulis oleh Ayoe).
Info detil novel THE DREAM IN TAIPEI CITY
wahhh subhanallah yaa… keren mabak mell ini… pengalamannya membuat kita terispirasi.
http://www.sebelasmeter.com
@Iim: iya nih, Mindiva aja sampai terharu
Aku ingin seperti mbak Mell. Ternyata usahaku masih kecil banget dibanding perjuangan mbak Mell. Salut buat mbak Mell…
ayo.. sekarang waktumu!
terinspirasi bgd deh mbak Mell. apakabar mba?