judul gambar
BeritaResensi

Shabana: Antara Afghanistan dan Makkah

judul gambar

Pertama membaca buku ini di deretan fiksi Gramedia, saya tertarik dengan settingnya yang tak biasa, Afghanistan. Wow. Sekilas mengingatkan saya pada karya legendaris Khaled Hosseini “The Kite Runner”. Pasti mas Agung ini mahasiswa Indonesia yang sangat beruntung bisa kuliah di Afghanistan, pikir saya. Maka segera saja novel ini masuk tas belanjaan saya untuk saya bayar di kasir

Tak sabar, saya mulai membacanya di Foodcourt. Hmmm… pembukanya menarik. Tentang perlombaan berkuda dengan setting Kabul. Saya terus melanjutkan bacaan yang tadi baru sampai halaman 5. Saya suka pemilihan kalimat Agung. Kaya dengan deskripsi yang cukup detail, mengingatkan saya pada karya-karya terjemahan asal Timur Tengah yang pernah saya baca

O-ow… tapi mulai halaman 8 saya seperti tertatih mencoba memahami berbagai kata yang berasal dari bahasa Afghanistan. Ada khanum, Bachem, dan Buzkashi. Saya cari footnote nggak ada. Endnote, bodynote juga nggak ada. Weeew…. gimana ini saya bisa faham keseluruhan cerita sekaligus belajar bahasa asingnya ya

Setting Afghanistan berhasil menyelamatkan saya dari rasa malas meneruskan membaca akibat kasus gagal faham tadi. Ya sudahlah. Toh akhirnya ketika saya melanjutkan membaca di rumah, beberapa kata atau istilah mulai saya fahami. Oooh, ternyata Agung menyebarnya di dalam deskripsi-deskripsi pada bagian-bagian selanjutnya toh. Yaa boleh-boleh saja sih. Dengan catatan, jika semua pembaca modelnya ‘gigih’ kayak saya. Lah kasihan sama pembaca yang tingkat gagal fahamnya dan tingkat kemalasannya lebih dari saya dong ya

Daan…. kejutan berikutnya adalah… perpindahan setting di bab satu. Kini setting cerita berpindah ke Makkah. Dan ini dia yang ternyata menjadi setting yang dominan dalam novel ini. Ya nggak apa-apa sih. Saya selalu suka dengan karya-karya yang dengan lincah memotret setting waktu dan tempat secara bergantian. Agung melakukan ini dengan sangat baik.

Saya akui bahwa saya menjadi sangat tertarik dengan novel ini. Saya menjadi terikutsertakan dalam pengembaraan Shabana Ahmas, perempuan Afghanistan, yang menjadi salah satu korban perang. Ibunya tewas di kamp pengungsian secara mengenaskan, sementara ayah, adik, suami, dan anaknya terpisah darinya, entah dimana. Beruntunglah Shabana karena ada pasangan Yassir dan Farrukhzad yang memeliharanya dan sudah ia anggap sebagai orang tua

Suatu hari Shabana mendapat kabar bahwa ayahnya ada di Makkah. Ia pun berusaha untuk bisa pergi ke Tanah Suci dengan uang yang akhirnya dia miliki. Berbekal restu dari kedua orang tua angkatnya, Shabana memulai pencariannya di Makkah. Ternyata semua orang tercinta yang ia cari ada di kota yang sama. Betapa bungah hatinya. Namun jika semua tak lagi sama, sanggupkah Shabana menata hati dan hidupnya

Nah seru kan? Satu hal lagi yang saya suka, Agung begitu piawai menggambarkan Shabana sebagai sosok perempuan yang kuat dan mandiri. Dia memantapkan imaji di benak saya tentang karakter perempuan-perempuan tangguh dari Timur Tengah dan Asia Barat. Di bab delapanbelas, sosok ini terpotret sempurna. Oooppsss…. ada kejutan yang sempat membuat saya nyaris membanting buku pada bab ini. Apa kejutanny

Ya nggak usah dikasih tahu dong. Takut dianggap spoiler….  Coba beli dan baca saja novelnya. Dijamin pingin ikut ngamuk deh. Haha, Agung, you did a very good job he

Yang menarik juga, meski novel ini terkesan serius, penulis tidak lupa menyisipkan humor di dalamnya. Misalnya ketika Shabana mencoba menghubungi ponsel suaminya, Faisullah. Shabana merasa sedih karena panggilannya selalu dijawab oleh seorang laki-laki dalam bahasa Arab. Dia tak tahu kalau itu adalah voice mail karena ponsel suaminya tidak aktif. Pertanyaan saya, memangnya di Afghanistan enggak ada ponsel ya? Ih serius, ini saya betulan enggak tahu. Pertanyaan kedua, apakah suara laki-laki itu mirip sekali dengan suara Faisullah sehingga Shabana tidak bisa membedakan keduanya? Maafkan jika saya terlalu ribet dengan hal ini ya

Afterall, novel ini keren dan menghangatkan hati pembacanya. Bintang 4 di Goodreads ya. Soalnya saya gagal melulu kasih 3.5. Hehehe. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang tadi saya bahas. Pesan novelnya sampai, settingnya ‘dalem’, deskripsi detail dan menarik (soalnya banyak juga novel yang deskripsinya detail tapi membosankan) jadi jelas novel ini enggak membosankan, konflik cepat, alur rapat, dan Agung lincah memainkan skenarionya pada novel ini. Sebenarnya sih ada satu lagi krkurangannya. Kalau saja kavernya tidak terlihat seperti satu warna, novel ini bisa juga lho mencuri perhatian pembaca dari segi artistiknya

Oh ya, saya selalu jatuh cinta pada kalimat ending yang manis. Ini saya kutipkan dari novel karya Agung

Zaher menambah kecepatan mobil. Saat sudah melewati beberapa apartemen, Shabana berpaling lagi ke belakang. Saghar dan yang lainnya sudah tidak terlihat. Shabana meluruskan pandangan ke depan. Jalan-jalan lebar Kota Makkah seakan turut melepasnya. Di atas, langit mulai gelap. Mendung hitam menggumpal-gumpal. Shabana merasa alam begitu mengerti perasaannya. Dia merasa ada yang tertinggal di sini. Di Tanah Suci ini.

Hatinya.

Bittersweet but beautiful. Gimana pendapat teman-teman pembaca semua?

Judul : Cinta yang Membawaku Pulang
Genre: Fiksi, Novel, Romance, Inspiratif
Penulis : Agung F. Aziz
Penerbit: Indiva
Tahun Terbit: September 2013
Halaman: 296 halaman
Ukuran: 19 cm
ISBN: 978-602-8277-62-4
Harga : 42.000 IDR.

 

Cinta bawaku pulang

judul gambar
Indiva Media Kreasi, penerbit buku di Kota Surakarta, telah berkhidmat sejak 1 Agustus 2007. Mengusung tagline: Sahabat Keluarga.

Related Posts

1 of 8

Leave A Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *