Novel Rinai menceritakan tentang perjalanan Rinai Hujan–seorang mahasiswi jurusan psikologi–dalam menemukan jati dirinya. Terlahir dan besar dalam keluarga yang cukup kental budaya Jawa; bahwa laki-laki harus selalu dinomorsatukan dan perempuanlah yang harus mengalah. Karena hal itulah konflik keseharian selalu muncul antara Rinai dengan kakak laki-laki satu-satunya, Guntur, sejak mereka kecil.
Didasari keinginan untuk mandiri dan bisa mengambil keputusan sendiri, Rinai memilih kuliah di Surabaya. Di bangku kuliah inilah Rinai mulai melihat sosok-sosok perempuan yang berbeda dari Bunda Rafika, ibu yang sangat dicintainya. Sosok itu adalah Nora Efendi, dosennya, dan Amaretta Astuti, kakak kelas sekaligus asisten Nora. Sosok Nora begitu dikagumi oleh Rinai, sedangkan sosok Amaretta adalah sosok yang ditakutinya. Melihat mereka berdua, Rinai benar-benar tak ingin mencontoh sifat bundanya yang selalu mengalah pada ayah, Guntur, dan Pakde Harun.
Satu hal yang selalu mengusik Rinai dan menyebabkan ia memandang rendah dirinya sendiri,adalah mimpinya tentang ular yang kerapkali mendatanginya. Dalam teori psikoanalisa Freud dikatakan bahwa mimpi ular adalah representasi dari alat reproduksi laki-laki.
Didorong oleh alasan kemanusiaan, Rinai mendaftarkan diri menjadi relawan ke Palestina, dan terpilih menjadi asisten tim peneliti yang diketuai oleh Nora. Amaretta pun ikut dalam rombongan itu. Mereka tergabung dalam tim trauma healing sebuah organisasi independen HRHW (Humanity Relief for HumanitarianWelfare).
Beragam hal menyertai perjalanan Rinai, dari perbedaan pandangan dengan anggota satu timnya,kecintaannya pada Hazem dan Sana’a – kakak beradik yang telah yatim piatu akibat kebiadaban Israel –, debar cintanya pada seorang pemuda Gaza, belum lagi konflik psikologis dalam diri Rinai yang sejak dari tanah air terus membayanginya.
Pada akhirnya,justru saat di Gaza pulalah Rinai menemukan arti mimpi ular, pada lembaran-lembaran Al Muqoddimah Ibnu Khaldun…Eureka!!!
***
Pertama kali melihat buku ini, – jujur – saya kurang tertarik membacanya karena cover depannya yang terkesan begitu suram, ditambah dengan judulnya: Rinai. Membacajudul tersebut seketika yang terbayang di otak adalah sebuah frase: rinai hujan dan mengaitkannya dengan isi buku yang tentunya akan banyak menyebabkan hujan airmata.Ternyata dugaan saya meleset. Tak terpikir sama sekali bahwa Rinai diambil darinama sang tokoh utama, yaitu Rinai Hujan. Nama yang cukup unik agar pembaca mudah mengingatnya. Isi keseluruhan novel juga tidak banyak menguras airmata,walau tak urung di beberapa bagian membuat hati saya gerimis saat membacanya.
Rinai adalah novel psikologi yang mengambil latar tempat di Gaza. Tak mengherankan karena novel ini ditulis oleh Sinta Yudisia yang memiliki latar belakang pendidikan bidang psikologi dan sempat menjejakkan kaki sejenak di tanah Gaza. Belum begitu banyak karya penulis Indonesia yang mengangkat perjuangan rakyat Palestina melawan Israel. Kalaupun ada, biasanya dipadukan dengan sudut pandang sejarah atau politik yang lebih heroik. Hal inilah yang menjadi pembeda sekaligus daya tarik buku ini.
Kepiawaian seorang Sinta Yudisia tampak dalam kelincahannya mendeskripsikan berbagai tempat, kejadian, dan perasaan Rinai melalui perumpamaan-perumpamaan yang tersebar di hampir setiap halaman. Seperti saat perjalanan dari Mesir menuju Gaza, digambarkan oleh Sinta: “Melintasi satu kota ke kota lain adalah jam demi jam dalam diam bernaung atap langit, berkawan halusinasi sepi gelombang gurun…Siang sesunyi kematian, bagaimanakah lagi malam? Apakah sesunyi ruang angkasa tanpa denting suara terlemah sekalipun?” (hal 97)
Perasaan Rinai saat bunga-bunga cinta muncul juga digambarkan dengan sangat cantik:“Dunia seakan berhenti berputar. Matahari mengalami musim salju, angin berayun berirama…Pemuda ini, memberinya rasa menggigil, serupa ia terpaksa melaju kencang diatas sepeda motor, menembus derasnya hujan.” (hal 175-176)
Buku adalah makanan ruhani. Meski buku berjenis novel sering dianggap hanya sebagai kudapan atau makanan selingan, namun bila novel Rinai ini disantap, maka akan sangat mengenyangkan dan bergizi tinggi. Banyak hikmah yang saya dapatkan dari membaca Rinai. Saya seperti tertohok dan diingatkan kembali agar memperbanyak interaksi dengan Al-Qur’an (hal 184).Sudahkah Qur’an turut mewarnai aktivitas kita setiap harinya? Betapa Al-Qur’an adalah katarsis hebat bagi jiwa manusia – melembutkan hati, mengasah kepekaan,dan membuat mampu bertahan dalam kondisi apapun.
Membaca buku ini juga menjadikan kita bisa mengenal lebih dekat kehidupan warga Gaza. Kondisi perang tidak membuat sisi kemanusiawian mereka hilang (hal 357). Anak-anak tetap bersekolah, tumbuh cerdas dan berkarakter kuat, bahkan banyak diantaranya yang kecerdasannya di atas rata-rata. Para perempuan bekerja dan mendidik anak-anak masa depan Palestina, sekaligus bersiap setiap saat menjadi janda.Para mahasiswa berlomba mencari beasiswa dan berlomba pula untuk segera pulang ke negerinya. Pemerintah Palestina dalam keadaan terbatas dan terblokade tetap mampu menegakkan izzah sebagai negara yang berdaulat , mampu memastikan anak-anak Palestina makan makanan bergizi,dan menerima para relawan sebagai tamu negara yang wajib dihormati dengan pelayanan terbaiknya. Dalam hal ini, sesungguhnya kitalah yang harus berkaca pada mereka.
Pelajaran lainnya yang akan diperoleh dari membaca novel ini adalah pengetahuan tentang psikologi, tentang berbagai macam metode dan tes psikologi, serta perbandingan psikologi barat Sigmund Freud vs psikologi islam Ibnu Khaldun. Meski begitu, pembaca tak akan merasa bosan dan lelah karena selipan-selipan ilmu tersebut dikemas lewat cerita yang mengalir, dialog antar tokoh, dan diskusi dalam perkuliahan.
Namun sayangnya,pada bagian Rinai menemukan arti mimpi yang selalu menerornya, penulis terjebak dengan menyajikan secara utuh terjemahan AlMuqoddimah Ibnu Khaldun (hal 319-321). Pembaca tentunya akan merasa seperti membaca diktat terjemahan yang melelahkan (pada waktu pertama kali saya baca,saya pun segera melewati bagian ini:)).Sebetulnya bagian ini cukup diambil intisarinya saja tidak mengapa karena tidak mengubah alur cerita.
Karena novel ini bergenre psikologi yang berlatarkan perjuangan rakyat Palestina, pasti ada istilah-istilah khusus bidang psikologi dan istilah-istilah khas setempat yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut di catatan kaki. Saya pribadi – dan mungkin juga banyak pembaca lainnya – lebih menyukai catatan kaki yang diletakkan di bagian bawah halaman, bukan di bagian akhir buku. Catatan kaki yang diletakkan di akhir buku bisa mengganggu kenyamanan pembaca karena beberapa kali harus membolak-balik halamannya.
Kekurangan buku ini yang lain adalah banyaknya kata yang salah ketik. Meski nampaknya hanya sebuah kesalahan kecil dan pembaca bisa segera tahu apa sebenarnya kata yang dimaksud, tapi bila terjadi berulang kali tentunya cukup mengganggu kenyamanan dalam membaca. Jika saya tidak salah menghitung, paling tidak ada 15 kata yang salah ejaannya.
Karena novel ini menceritakan tentang sebuah kisah perjalanan, maka ada baiknya juga bila Penerbit Indiva menghiasi buku ini dengan peta jalur dari Mesir ke Palestina dan denah kota Gaza. Tujuannya untuk membantu imajinasi pembaca agar bisa tergambarkan dengan lebih baik.
Adapun cover belakang novel yang berisi ringkasan atau sinopsis isi buku, seharusnya bisa lebih diperhatikan oleh tim Penerbit Indiva. Ibarat iklan, cover buku – baik cover depan maupun cover belakang – berfungsi untuk mengiklankan sekilas isi buku sehingga pembaca tertarik atau penasaran dan kemudian memutuskan untuk membacanya lebih lanjut. Menurut saya, pemilihan penggalan episode di Rinai yang dijadikan sinopsis ini justru sedikit membingungkan, kurang mewakili isi novel secara garis besar, dan kurang memantik rasa keingintahuan pembaca. Rasanya akan lebih seru dan mengundang rasa penasaran ‘calon’ pembaca jika yang dijadikan sinopsis itu adalah episode saat Rinai bermimpi ular atau saat Rinai,Hazem, dan Sana’a terjebak di rumah Hazem di Qarni dengan diberondong tembakan serdadu Israel.
Penerbit Indiva sejauh ini telah membuktikan sebagai penerbit buku-buku yang berkualitas dari para penulis yang berkualitas pula, seperti Afifah Afra dan Sinta Yudisia. Untuk ke depannya, semoga Penerbit Indiva bisa lebih baik dalam memoles kemasan buku sehingga semakin banyak pembaca yang tertarik membaca dan tercerahkan oleh buku-buku Indiva.
Judul : Rinai
Penulis : Sinta Yudisia
Penyunting Bahasa : Mastris Radyamas
Penerbit : Gizone Books (Kelompok Penerbit Indiva Media Kreasi)
Tahun Terbit : September 2012, Cetakan Pertama
Ketebalan : 400 halaman, 20 x 14 cm
Peresensi : Frida Ari Yuliani, Ibu Rumah Tangga, Penikmat buku
ISBN : 978-602-8277-65-5