Oleh: Marisa Agustina
Serumit susunan anatomi tubuh manusia, sekompleks itu pulalah kondisi nonfisik manusia. Kejiwaan. Tema ini menjadi ide utama dalam novel Bulan Nararya karya Sinta Yudisia. Adalah Nararya, atau yang memiliki nama kecil Rara, seorang terapis mental yang bekerja di sebuah mental health care, klinik rehabilitasi mental, yang menjadi tokoh sentral dalam novel ini. Sebagai seorang terapis, bukan berarti Rara memiliki kehidupan pribadi yang bebas dari masalah. Justru sebaliknya, Rara mempunyai problem yang tak kalah pelik seperti halnya para kliennya. Jika pernikahan yang kandas setelah berlangsung selama 10 tahun terdengar sangat memprihatinkan bagi seorang terapis mental maka pengkhianatan seorang sahabat dekat seolah menjadi penyempurna beban psikologis yang harus ditanggungnya. Angga dan Moza, dua nama yang menjadi pil pahit dalam hidup Rara.
Setiap kali mengingat Angga dan Moza, ada yang terasa retak, berkeping, dan hancur. Titik aku menyadari, bila bukan karena ketangguhan jiwa dan kemampuan mencari solusi maka manusia bisa menjadi gila. (Halaman 33)
Rara berusaha untuk tangguh. Segudang teori mengenai pengendalian kejiwaan mau tak mau harus dia praktikkan sendiri demi menjaga kesehatan psikologisnya. Salah satu bentuk pelariannya adalah dengan memforsir dirinya dalam bekerja. Namun, apa daya, pada satu titik pertahanan, mentalnya akhirnya ambruk juga manakala dia mendapati sang mantan suami ternyata telah menikahi sahabat baiknya. Pada titik itu, Rara bahkan merasa dirinya mulai mengidap penyakit skizophrenia. Dia mulai berhalusinasi! Dia mendapati dirinya ketakutan karena menemukan genangan darah dan kelopak mawar merah yang berserakan di sekitar ruang kerjanya di klinik.
Kondisi psikis yang menurun drastis membuat kinerja Rara di klinik ikut terjun bebas. Bu Sausan, atasan Rara, bahkan sampai menawarkan agar Rara berpindah bagian untuk sementara. Berat bagi Rara untuk menerimanya. Karena bagaimanapun, ada beberapa pasien yang bagi Rara memiliki nilai spesial dalam hidupnya. Sania, Pak Bulan, danYudhistira. Belum lagi Rara tengah memperjuangkan sebuah terobosan untuk menjadi metode baru penyembuhan pasien gangguan kejiwaan di klinik tersebut. Alih-alih mengandalkan farmakologi semata, Rara meyakini bahwa pasien dapat menuju kesembuhan melalui terapi transpersonal; kesembuhan dengan konsep menerima manusia tanpa syarat. Bu Sausan belum sepenuhnya menyetujui metode yang diajukan Rara untuk diterapkan di klinik tersebut.
Selain Rara yang menjadi tokoh utama, tokoh-tokoh lain yang berada di sekitar Rara pun sangat kaya karakter. Misalnya, tokoh Yudhistira, yang tengah menjalani terapi rehabilitasi terkait penyakit skizophrenia. Saat Rara merasa berhalusinasi akibat tekanan batin yang dialaminya, hal itu menjadi semacam ironi karena Rara selama ini pun ikut menangani terapi Yudhistira.
“Terapis yang hebat,” suara Bu Sausan lamat, “bukan mereka yang mampu menangani segala. Tapi yang tahu kapan harus meminta bantuan dari orang lain, di titik tertentu.” (Halaman 101)
Bahkan melalui tokoh Bu Sausan, penulis dengan lihai menyelipkan kalimat-kalimat bertenaga pembangkit semangat. Pembaca seolah disuguhi kiat untuk move on tanpa terasa. Misalnya saja dalam sebuah dialog ketika Rara mengalami kegalauan akibat sang mantan suami yang masih sering menghubunginya, mempermainkan perasaan melankolisnya.
“Tak usah mencari ap amakna yang tersirat,” Bu Sausan seolah membaca pikiran.”Kesukaanmu mencari apa yang tersembunyi di belakang, akan menyulitkan. Pakai saja konsep here and now. Apa yang ada di hadapanmu, itu saja.”(Halaman 93)
Dalam novel ini, selain menyajikan bacaan bergizi mengenai masalah kejiwaan, penulis juga banyak mengekplorasi kearifan lokal. Di samping Surabaya sebagai setting utama cerita, Kota Palu juga menjadi setting sekunder yang berhasil digambarkan dengan apik. Palu dan konflik Poso yang pernah menjadi cerita kelam bagi para survival–nya, semua dijalin menjadi sebuah cerita yang memikat dan kaya akan makna hidup.
Selain itu, meskipun alur ceritanya dewasa, novel ini sangat santun dalam pemakaian diksinya. Sehingga semua kalangan akan aman membacanya. Ditambah lagi suspense yang cukup mencekam yang berhasil dibangun penulis ketika mengisahkan halusinasi yang dialami Rara. Untuk semua itu, tak heran jika dalam ajang kompetisi menulis Tulis Nusantara 2013, novel ini menyabet gelar juara III.
PROFIL BUKU
Judul Buku : Bulan Nararya
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Terbit : September 2014
Tebal Buku : 256 halaman, 19 cm
ISBN : 978-602-1614-33-4
Novel ini memenangkan Juara III Kategori Novel Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2013 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
* * *
Aroma mawar makin tajam tercium.
Aku menundukkan kepala, gigi gemeletukan. Rahang saling beradu. Kedua kaki berdiri tanpa sendi, namun betis mengejang kaku. Berpegangan pada kusen pintu, perlahan tubuh melorot ke bawah. Ada sebaran kelopak mawar tercabik hingga serpihan di depan ruang kerja. Sisa tangkai dan batang serbuk sari teronggok gundul, gepeng terinjak. Cairan. Cairan menggenang, berpola-pola.
Aku bangkit, terkesiap. Otakku memerintahkan banyak hal tumpang tindih. Lari keluar, berteriak. Atau lari ke dalam, mengunci pintu. Atau lari masuk, menyambar telepon. Tidak. Anehnya, intuisiku berkata sebaliknya. Tubuhku berbalik, meski melayang dan tremor, dengan pasti menuju tas. Merokoh sisi samping kanan, hanya ada pulpen dan pensil. Merogoh sisi kiri, ada tas plastik kecil, bekas tempat belanjaan yang kusimpan demi eco living.
Segera kuambil tas plasting kecil, membukanya, menuju ke arah pintu.
Halusinasiku menemukan jawaban.
* * *
Novel ini berkisah tentang Nararya, seorang psikolog yang menjadi terapis di mental health center. Menerapi para pasien skizophrenia. Uniknya, meski dia berhadapan dengan manusia-manusia tak normal, Nararya yang kehidupan rumah tangganya berantakan, justru menemukan kebahagiaan.