Yeni Mulati Ahmad
Aku ingin menggunting rindu
Mungkin ada sisi yang perih
Mungkin ada sisi yang cabik
Tetapi, ketimbang rindu ini acak tak berwujud
Tak apa kan kuraih sebilah gunting
Izinkan aku mengacak-acak rindu
Sejenak aja
Kau cukup pejamkan mata
Sembari menahan perih
Lalu, bukalah sesaat kemudian
Kau akan lihat, sebentuk sulaman indah
Percayalah
Sulaman itu
Kubuat khusus untukmu
Niken Harena
Awan mendung menghias siang ini
Berarak-arak berkumpul mencipta sunyi
Juga angin yang bertiup sesekali
Menambah syahdu dalam hati
Akankah Desember ini kelabu?
Berhias rintik hujan mengharu biru
Ataukah Desember ini kan ceria?
Mencipta indah cerita penuh warna
Meski ketetapan tlah tertulis dengan pena-Nya
Namun, suasana bisa dicipta
Mendung, hujan, terang pasti silih berganti
Bersama keyakinan kan kucipta pelangi
Lilik Kurniawan
Hari pertama….
Aku membau wangi tubuhmu yang sekelebat
Kagum, meski tak sempat kulihat wajahmu
Hari kedua….
Tak sengaja aku bertemu denganmu
Bahkan menyapa
Dan aku masih tak yakin akan skenario Tuhan atas pertemuan itu
Hari ketiga….
Semakin banyak kudengar dan kucari tahu tentang semua kebaikanmu
Bahkan saat kau memberi sedekah ilmu kepada jiwa yang haus akan pengetahuan
Aku pun tahu
Anak-anak TPA itu
Hari keempat….
Rasa ini semakin terombang-ambing oleh pucuk-pucuk daun yang menyapu hatiku saat tertimpa angin
Merindumu di saat tak kunjung kucium baumu
Tak mendengar namamu disebut oleh teman-teman sebangku
Ada rasa yang tak mau kucerita kepada sesiapa pun dia
Hari kelima….
Aku benar-benar malu akan rasaku
Cair senyumku melihat kau datang dengan seutas senyum yang sejatinya aku yakin itu untuk aku
Cemberut mukaku saat kau bercengkerama dengan teman-temanku
Bahkan, marah jika kau abaikan aku
Hari keenam….
Kapan kau melamarku?
Penantian yang tak pernah dia tahu jika aku sedang menantimu
Sungguh…
Mungkin benar kata orang jika sakitnya itu ada di sini
Atau aku hanya benar-benar bermimpi?
Hari ketujuh….
Pupus sudah asaku
Menantimu yang tak kunjung tahu tentang rasaku
Bahkan sekadar bertanya kepada teman karibku tentang rasaku
Mengapa?
Apakah aku tak pantas untukmu?
Hari kedelapan yang tak pernah ada
Maka, aku meminta satu detik kepada Tuhan
Ya … satu detik saja, Tuhan
Itu bilangan waktu terkecil yang aku minta agar aku bisa mengatakan
Sejak pertemuan di hari pertama aku sudah mencintaimu
Tapi rupanya….
Satu detik pun rasanya tak mampu untuk mewakili cintaku
Maka, kuputuskan untuk diam
Diam dalam cinta yang tak pernah aku katakan
Biarlah sedekah cinta ini aku rengkuh sendiri hingga jodohku tiba
Kapan?
Dalam ikhtiar dan tawakalku
Isnatul Ilmi
“Itu bunga apa?”
Tanganmu menelusup di jemariku
Kataku, kemarau telah berlalu
Saatnya menyemai benih yang telah kita rawat pada masa yang kerap kita keluhkan
Berjuta benih
Mata elangmu menatap penuh tanya padaku
“Seperti cinta?”
Seperti cinta yang selalu kita siram dengan buliran embun
Subhanallah
Alhamdulillah
Laa ilaha illallah
Allahu akbar
Ah
Kukecup keningmu mesra
Kuusap hangat punggungmu
Masa setiap tunas bertumbuh
Jamur, polong, umbi, dan setiap yang didamba
Sembari mencabut seminya ilalang, cendawan cantik, atau rumput yang berebut mengangkasa
Masa ini semua bersemi, termasuk senyum, rindu, dan kasih yang terangkum dalam tetes air penuh berkah
“Termasuk bunga itu?”
Termasuk bunga itu
Kurengkuh tubuhmu dalam dekapku
Dingin mulai menggigit
Dan senja telah lama menyapa
“Itu bunga apa, Bunda?”
Desember
Menunggu kekasih hati memeluk hiasan
Jiwa
Lilik Kurniawan
Udara nafas kecil ini terasa hangat
Bertemu dengan degup jantungku yang terasa lelah hari ini
Kuikat beberapa kali agar jarit ini tak begitu saja hempaskan dia
Sembari kupandang langit yang mengabu
Rintik air yang terus bertutur sedari sore
Anak lelakiku
Kamu anakku milik masa depanmu
Dan aku, ayahmu, sangat berharap doa tulus dari kesalihanmu
Fitri Areta
Aku menjerit saat kau menumpahkan rinai hujan di atas kelambu kamarku
Bukankah purnama seharusnya di sini, menemaniku?
Tapi, wajahnya tak kutemui di penghujung malamku
Malam kian menggigil dalam pekatnya malam
Rindu berbaur menjadi asa yang berkepanjangan
Desemberku pergi, menjauh di keheningan malam
Sedangkan aku selalu menanti bersama secangkir kopi hitam
Ke mana kau, Desember?
Sampai lelah secangkir rinduku menunggumu
Barroh Mudawamah
Bulan itu Desember
Awal mula kebahagiaan tercipta
Keping demi keping bayangan
Berloncatan dalam angan
Merajut selaksa senyuman
Ya, Desember itu
Engkau hadir di kehidupan
Perlahan namun pasti
Menawarkan madu di tengah getirnya ujian
Bukan takdir jika tak mungkin
Tuhan berkehendak lain, Sayang
Desember itu bukan untukku
Belum saatnya
Bahkan hingga lima purnama
Desember masih dalam harapan
Totok Utomo
Ibu
Hubungannya erat sekali
Setiap hari
Sehabis mandi
Selesai makan
Sehabis apa pun
Dalam hatiku
Aku berpikir
Mau ke mana gerangankah ia?
Notebook
Tapi….
Apa yang selalu ia lihat di notebook?
Facebook!
Setiap hari
Tawanya menggema
Sampai kapankah
Hubungan erat antara ibu dan facebook?
Mungkin sampai akhir hayatnya
Notebooknya akan dibawanya
Ke surga….
Fatcha Qolba
Sepotong kasih secuil hati
Seberkas pancaran cahaya kelabu
Pun setetes rinai kehampaan
Ruang ragu bernama kenangan
Rintik-rintik hujan memori
Meraja meramu jiwa kelu
Desember tetes hati tergugu
Riak jiwa tak beranjak
Biar sakit biar ngilu
Lika-liku telah bergaris
Palung hati berasa akhirRidho-Nya meraja lelaku
Marliana Kuswati
Desember, izinkan aku mengadu
Ada sekuncup rindu
Hendak mekar di batas menggebu
Dan gairah luruh layu
Desember, boleh aku mengungkit?
Patah di tengah seperti rakit
Jawara renang tenggelam di tengah parit
Dina Muslimah
Memang bukan dulu yang aku kenal
Warna milikku telah pudar dalam kurun waktu
Menjadi warna semu
Warna yang begitu padu
Bagai pelangi syahdu
Tak kutemui dalam setiap hariku
Kesemuan telah menutupi keindahan itu
Retorika rindu pancarkan warna baru
Namun, kuyakin itu masih dalam kesemuan
Kucoba mencari warna yang dulu menawan
Yang menghias dengan ketulusan
Di setiap lorong tak kutemukan kemurnian
Memang warna itu bukan warna yang dulu
Biarlah warna itu menjadi kenangan
Kenangan yang menghiasi kehidupan
Diah Cmut
Kirim seribu rajut
Aku takkan bergayut
Sekali pun cemas memagut
Tiadalah rayu terpaut
Cermin membuka dusta
Luka di balik topeng cinta
Tiadalah sesal terkuak dusta
Sepotong senyum pembias manisnya kata
Hei, pesona ragu!
Tak lelahkah mengangkat dagu?
Sedang hatimu terlanjur gagu
Untuk mengecap cinta yang berlagu