Oleh: Zurnila Emhar Ch
Rumah adalah tempat utama seorang anak ditempa. Di rumah pertama kali anak belajar berbagai hal, termasuk pembentukan karakter yang akan melekat pada dirinya di masa dewasa. Dan tentu saja guru pertama seorang anak adalah orang tuanya sendiri.
Novel berjudul Bapangku Bapunkku ini mengisahkan peran besar seorang Ayah dalam mendidik anak-anaknya. Dibuka dengan surat yang dihadiahi Bapang untuk kado ulang tahun anaknya, Alap Nian. Bapang menjadi tokoh sentral dalam novel ini.
“Anakku, kau sudah terlahir sebagai juara! Kau harus tahu, Nak. Mempertahankan gelar itu tidaklah mudah. Kau harus berdisiplin dalam belajar dan bekerja keras setiap hari untuk mempertahankan gelar juaramu. Kau tidak boleh bermalas-malasan dan tidak boleh mengeluh. Bapang akan membangunkanmu setiap pagi untuk mengajakmu beribadah, belajar, dan bekerja keras sepanjang hari. Kelak ketika kau sudah cukup umur, kau harus membiasakan diri untuk bangun pagi dan memulai belajar serta bekerja keras demi kelangsungan hidupmu.”
(Hal.9)
Demikianlah sepenggal isi surat Bapang untuk setiap anaknya yang berulang tahun. Bapang adalah panggilan untuk ayah dalam bahasa Suku Semende, Sumatera Selatan. Bapang merupakan ayah dari empat orang anak. Orangnya nyentrik dan teguh pendirian. Atau bisa dibilang keras kepala. Dia menolak panggilan selain Bapang. Bahkan untuk seorang ayah yang agamais, Bapang menolak dipanggil Abi.
“Agamais itu tidak dapat dinilai dari panggilan,” Bapang menjelaskan. “Bahkan anak-anak orang kafir di Arab sana memanggil ayah dan ibu mereka dengan sebutan abi dan ummi. Sebab, memang begitulah bahasa sebutan mereka.”
(Hal.13)
Bapang memiliki empat orang anak. Anak sulungnya duduk di bangku SMP. Selebihnya masih SD. Walaupun anak-anaknya masih kecil, Bapang tidak pernah main-main dengan pendidikan dan pembentukan karakter mereka. Semuanya mempunyai pekerjaan tetap sebelum berangkat sekolah. Rutinitas itu dijalankan setiap habis salat subuh.
Dalam menghukum anak-anaknya yang berbuat salah Bapang juga tidak sembarangan. Dia memilih memberi hukuman yang unik, yaitu menyalin Al-Qur’an satu juz dengan tulis tangan. Hukuman yang diwarisi Bapang dari ayahnya. Sebuah hukuman yang cerdas, yang membuat anak-anaknya mahir menuliskan bahasa arab dengan indah.
Bapang juga menyukai aliran punk. Aliran yang menjunjung tinggi azas kebebasan. Di rumahnya Bapang menerapkan kebebasan berpikir, berekspresi, berkarya, dan mengeluarkan pendapat. Dia membebaskan anak-anaknya menyelami minat mereka masing-masing. Ekstremnya, Bapang tidak mempermasalahkan jika anak-anaknya hanya fokus pada pelajaran yang mereka sukai saja. Dan nilainya anjlok di pelajaran yang lain.
Azas punk yang disukainya tak hanya diterapkan pada anak-anaknya. Tapi juga untuk menentang ayahnya. Ayah Bapang yang kaya raya menginginkannya menjadi pegawai negeri yang setiap bulan menerima gaji dan di masa pensiun masih dapat tunjangan. Namun Bapang menolak. Bapang memilih membuka usaha rumah makan, membuka taman bacaan, dan mendirikan sekolah.
Namun tidak selamanya kebebasan berpikir ala Bapang bisa diterima. Terutama oleh Bunda, istrinya. Hanya karena tidak terima Anjam, anak bungsunya dikatakan bodoh oleh pihak sekolah, maka Bapang pun berniat membakar seragam anak-anaknya dan mengeluarkan mereka dari sekolah tersebut. Tindakan ini serta-merta ditentang oleh Bunda. Keluarga yang semula rukun terancam berantakan. Bapang tetap dengan pendiriannya. Surat cerai nyaris dilayangkan.
“Aku akan mengalah dalam banyak hal padamu,” jawab Bapang tegas sekali. “Tapi, aku tidak akan pernah mengalah untuk pendidikan anak-anakku! Tidak! Aku lebih baik melihatmu pergi dari kehidupanku dari melihat masa depan anak-anakku yang berakhir sebagai bawahan!”
(Hal.186)
Novel yang ditulis Pago Hardian ini merupakan pemenang II Lomba Menulis Novel Inspiratif Indiva 2014. Gaya bahasa novel ini ringan, lucu namun penuh makna. Cara berpikir Bapang yang kritis mampu membuat pembacanya ikut berpikir ulang tentang berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari.
Bapang pernah keluar dari anggota pengurus masjid karena tidak setuju dengan renovasi masjid yang dinilainya menghambur-hamburkan uang. Bapak pernah ribut dengan kepala sekolah karena memang dia tidak menyukai sistem pendidikan formal. Di mata Bapang sistem pendidikan dan kurikulum pendidikan formal kerap hanya membebani para siswa tanpa manfaat yang jelas untuk kehidupan. Beberapa pelajaran yang sulit dianggapnya hanya menjadikan anak sebagai mesin penghapal. Tidak punya pengaruh yang jelas untuk masa depan.
Novel yang menjadikan Alap Nian sebagai pengisah ini sangat bagus untuk diapresiasi para orang tua.
Resensi ini dimuat di Harian Singgalang, 3 Januari 2016
Bapangku Bapunkku
Judul buku :Bapangku Bapunkku
Penulis :Pago Hardian
Tahun terbit :Cet.1, April 2015
Penerbit :Indiva
Tebal :232 halaman
ISBN :978-602-1614-47-1
Ini kisah antik keluargaku bersama ayah yang tidak mau dipanggil Ayah, maunya dipanggil Bapang. Itu panggilan untuk ayah dalam bahasa Semende. Tak cukup sampai di situ, diam-diam Bapang menganut aliran PUNK. Itu aliran yang mengagung-agungkan kebebasan. Mulai dari kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi, hingga kebebasan berkarya dan mengeluarkan pendapat. Syukurlah, Bapang tidak menata rambutnya gaya buah duren masak di pohon atau gaya sapu ijuk dari Yunani. Sebab, Bapang mengaku kalau dia itu PUNK muslim! Meski demikian, pemikiran dan tindakan Bapang sehari-hari nyentriknya minta ampun! Apa-apa diprotes; sistem pendidikan diprotes, pembangunan masjid diprotes, kepala sekolah diajak ribut, dokter ditantang, maling jemuran dijadikan sahabat, dan petugas KB di Puskesmas diajak berdebat!
Klimaksnya, pada hari Senin sehabis liburan kenaikan kelas, Bapang melarang anak-anaknya pergi ke sekolah! Seragam sekolah kami dimasukkan ke dalam karung untuk dibakar. Bunda meradang melihat kenyataan itu, Berpikir bebas boleh saja, tapi membakar seragam sekolah anak-anak adalah tindakan yang tidak bisa lagi ditoleransi. Bunda melawan Bapang dengan garang. Dan kebahagiaan keluarga kami berada di ujung tanduk; akte cerai nyaris diteken!
Bagaimana usaha Bapang untuk menyelamatkan keluarga dengan empat anaknya? Bagaimana cara Bapang mendidik keempat anaknya hingga jadi orang-orang yang sukses? Silakan baca kisah ini dan jangan menyalahkan jika nanti tertular virus PUNK ala Bapang. Kisah ini akan membuat siapa pun berpikir keras, tertawa ngakak, hingga menangis sedih, lalu bangkit dan berdiri tegak untuk berkarya dan bekerja keras! Sebab, dunia sudah lama menanti karya-karya besar kita semua!