Penulis: Thomas Utomo
Judul : Khofidah Bukan Covid
Pengarang : Dian Dahlia
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tebal : 304 halaman
Cetakan : Pertama, Juli 2023
ISBN : 978-623-253-143-7
“Hal paling membahagiakan selama sekolah adalah mendengar bel pulang berbunyi.” (halaman 9).
Khofidah Bukan Covid karya Dokter Dian Dahlia adalah naskah Favorit Juri dalam Kompetisi Menulis Indiva. Awalnya berjudul Daring, novel ini mengetengahkan cerita seputar kehidupan Khofidah alias Ida; siswa kelas VII SMP, keluarga, dan teman-temannya yang mendadak jungkir-balik karena kepungan Covid-19. Ida dan teman-temannya tidak bisa berangkat sekolah, setiap hari dikeroyok tugas-tugas daring, orang tua Ida di-PHK sampai kelimpungan mencukupi kebutuhan hidup yang terus mengejar.
Sesuai judul semula, teenlit ini menyoroti fenomena pembelajaran daring beserta silang sengkarutnya. Betapa perubahan moda pembelajaran secara teramat mendadak, dari luring menjadi daring, kegagapan guru dalam menyelenggarakannya—karena tidak terbiasa, keterbatasan fasilitas gawai dan akses internet siswa, adalah beberapa persoalan melintang. ‘Pembelajaran’ daring kerapkali tidak benar-benar menjadi pembelajaran, karena guru hanya menyodorkan timbunan tugas dengan tenggat waktu terbatas. Siswa jadi terpaku layar gawai lebih lama, “membuat ponsel itu mirip binatang peliharaan yang sangat disayangi dan harus ikut ke manapun ia pergi.” (halaman 24).
Orang tua yang diharapkan mendampingi ananda belajar d(ar)i rumah, dihadapkan persoalan baru. Buka cuma perihal ‘kekurangcakapan’ mendampingi belajar, tapi juga beban pekerjaan. Ada yang tiba-tiba dirumahkan seperti orang tua Ida. Ada pula yang terlalu sibuk sehingga sukar pulang, seperti orang tua Rara lantaran bekerja sebagai dokter. Timbul dilema: orang tua ada, ‘bisa’ mendampingi di rumah, tapi mata pencaharian tiada, fasilitas belajar minim, serba terbatas. Siswa lain, fasilitas di rumah; lengkap dan nyaman, tapi orang tua jauh, komunikasi sulit.
Isu lain yang disoroti dalam novel ini adalah cyber bullying, miskomunikasi akibat beda tafsir, beda pemahaman saat berinteraksi lewat gawai, ketahanan pangan keluarga, dan pemberdayaan UMKM.
Khofidah Bukan Covid menggelarkan realitas pahit-manis-getir di masa pandemi Covid-19. Ida dan keluarganya adalah potret kita, masyarakat Indonesia yang mayoritas masih kembang-kempis merentang-panjangkan uang penghasilan dari hari ke hari. Masyarakat yang berjibaku mencari selinapan peluang di sana-sini, kerja sambilan apapun, semata agar kebutuhan pokok bisa terbeli.
Emak Ida merupakan pantulan kebanyakan ibu di Tanah Air. Ia sumbu rumah tangga, penopang dan penyambung napas kehidupan keluarga. Dia gigih, menolak takluk di hadapan keterbatasan. Otak selalu berputar, tangan-kaki senantiasa bergerak, mencari pengisi perut orang-orang rumah. Seperti lilin, Emak Ida dan kebanyakan ibu adalah cahaya, meski terbatas daya terangnya, tetap menggeliat memberi manfaat dengan mengorbankan diri sendiri.
Patut dipuji, kendati teenlit, Khofidah Bukan Covid tidak ugal-ugalam dalam penggunaan bahasa prokem. Bahasa baku dan bahasa gaul berpadu secara luwes. Di cukup banyak tempat, kata serapan asing yang dipakai, malah sesuai pedoman transliterasi, seperti: salat, ikamat, ustaz, salihah, jemaah.
Sekelumit kekurangan novel ini, ada beberapa fragmen berupa percakapan lewat WhatsApp yang cukup bertele-tele dan berkepanjangan, sehingga agak membosankan.
*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga, Jawa Tengah. Ia menulis cerpen, novel, resensi, catatan perjalanan, dan sebagainya. Saat ini, bermukim di Purbalingga, Jawa Tengah.