Oleh: Thomas Utomo
Judul : Ayahku Sahabatku
Pengarang : M. Zaidan Al Ghozi Fillah
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : Pertama, Agustus 2017
Tebal : 144 halaman
ISBN : 978-602-6334-33-6
Harga : Rp 39.000
Salut. Itulah kata pertama yang terbetik dalam kepala saat mengetahui novel setebal 144 halaman ini ditulis oleh seorang anak berusia delapan tahun. Lebih salut lagi ketika sudah mengkhatamkan buku bersampul dominan warna hijau muda ini. Sebab, isi ceritanya sangat menarik.
Ceritanya sendiri mengenai seorang anak laki-laki bernama Utsman yang tinggal bersama ibu, pakdhe, budhe, serta kedua kakak sepupunya. Sejak bayi, anak itu sudah menjadi yatim lantaran ayahnya meninggal. Meski tidak pernah diejek teman-temannya berhubung dengan ketiadaan ayah, tetap saja dia sering merasa sedih. Dia ingin memiliki keluarga yang lengkap. Karena itulah, dia berharap bisa memiliki ayah baru yang bisa menemaninya belajar dan bermain. Tidak hanya berharap, dia juga rutin berdoa dan minta bantuan keluarga untuk mencarikan pendamping ibunya.
Lewat perantaraan Tante Shifa, akhirnya Bunda—panggilan untuk ibunya—dikenalkan dengan Pakdhe Husni, seorang laki-laki lajang yang gemar menghafal Al Quran. Setelah proses ta’aruf atau perkenalan lebih lanjut, akhirnya Pakdhe Husni mantap untuk meminang Bunda menjadi istrinya. Bunda juga rela hati menjadi pasangan laki-laki itu. Betapa senang hati Utsman mengetahui keputusan Pakdhe Husni dan Bunda. Tanpa menunggu lama, proses pernikahan pun dilangsungkan.
Setelah menikah, Ayah—panggilan baru untuk Pakdhe Husni—memboyong Utsman dan Bunda untuk tinggal di rumah baru. Di tempat tinggal baru inilah, Utsman merasakan satu per satu keinginannya terkabul: memiliki ayah yang memperlakukannya seperti sahabat, lalu bisa belajar dan bermain bersama. Tapi ternyata, kebaikan laki-laki berjenggot bertubuh jangkung tidak berhenti hanya sampai di situ. Dia juga mengajari Utsman untuk terampil mengumandangkan adzan, menghafalkan ayat-ayat Al Quran serta doa-doa penting, dan mengarahkan untuk menjadi anak mandiri.
Berangsur-angsur, Utsman berubah menjadi anak yang semakin membanggakan. Dia tidak ragu-ragu menggulung lengan baju untuk membantu pekerjaan rumah tangga. Dia juga tidak malu menyiapkan camilan dan membuat minuman apabila ada tamu bertandang ke rumah. Dia sendiri pula yang menghidangkannya.
Kebahagiaan keluarga Utsman terasa makin lengkap dengan kehamilan Bunda yang berbulan-bulan berselang melahirkan bayi laki-laki bernama Ali. Namun, belum sempurna mengenyam kebahagiaan, ujian menghampiri keluarga itu. Ali sakit parah yang menyebabkannya mondok berhari-hari di rumah sakit. Apa sebetulnya sakit yang diderita Ali? Bisakah dia sembuh seperti sediakala? Lalu bagaimana sikap Utsman menghadapi ujian itu? Apa dia dan keluarga bisa melalui masalah dengan baik? Temukan jawaban selengkapnya dalam buku apik ini.
Sisi lebih buku ini adalah adanya perbagai nilai kebaikan yang pantas diteladani anak-anak. Sebut sebagai contoh: kemandirian, sikap mental mengedepankan pikiran positif, tidak pantang menyerah, dan sopan santun. Di samping itu, sebagai pelengkap, buku ini juga disertai ilustrasi menarik yang membuat pembaca kian bersemangat menelusuri tiap halaman. Namun, peribahasa tak ada gading yang tak retak tetap berlaku. Di luar banyak kelebihan buku anggitan siswa kelas dua MIN 1 Malang ini, ada secuil kekurangan yang lumayan menggelitik ialah mengenai gelar akademik ayah Utsman.
Menilik ilustrasi dan deskripsi cerita, bisa ditebak kalau ayah kedua Utsman ini memiliki usia yang relatif muda. Mungkin sekitar tiga puluhan. Anehnya, gelar yang disandang ialah Drs. Bukankah gelar ini sudah tidak digunakan lagi sejak puluhan tahun silam? Kecuali bila usia Ayah lebih dari lima puluh tahun, mungkin penggunaan gelar ini bisa dianggap wajar.
Kekurangan yang bisa dibilang kecil ini, mudah-mudahan bisa membuat M. Zaidan Al Ghozi Fillah dan editor buku—kelak—lebih teliti memperhatikan detail.