judul gambar
Resensi

Mengkritisi Pendidikan Formal di Indonesia

judul gambar
Bapangku Bapunkku adalah novel peraih Juara II Lomba Menulis Novel Inspiratif. Novel ini, menceritakan perilaku Paguh Nian (biasa dipanggil Bapang, artinya Bapak dalam bahasa Sumende), seorang kepala keluarga, yang punya pemikiran dan sikap out of the box.

Oleh: Thomas Utomo, guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga

Judul : Bapangku Bapunkku
Penulis : Pago Hardian
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tebal : 232 halaman

Bapangku Bapunkku adalah novel peraih Juara II Lomba Menulis Novel Inspiratif. Novel ini, menceritakan perilaku Paguh Nian (biasa dipanggil Bapang, artinya Bapak dalam bahasa Sumende), seorang kepala keluarga, yang punya pemikiran dan sikap out of the box.

Waktu masih mahasiswa, dia rela meninggalkan kos mewah yang disewakan orang tuanya dan pindah ke kos sangat sederhana. Alasannya, daripada digunakan untuk membayar kos super lengkap fasilitasnya, lebih baik uang kiriman orang tua dipakai untuk membantu maling.

Ya! Bapang menolong maling yang masuk ke kamar kosnya dan berjanji membantu si maling, asal oknum itu mau bertobat. Rupanya, sang maling konsekuen dengan ikrar yang dia ucapkan.

Bapang membongkar tabungan untuk membiayai maling bernama Bagus itu, membangun kehidupan baru sebagai pedagang bakso. Keputusan ini sudah barang tentu mengundang decak heran dari orang-orang dan terutama keluarga di Sumende.

Di kesempatan berbeda, Bapang yang giat beribadah, justru menentang pembangunan masjid agar lebih megah. Argumentasinya, buat apa membangun rumah ibadah dengan megah jika jamaahnya hanya berapa larik saf saja. Lebih manfaat, uang kas masjid dipakai untuk pengembangan nonfisik. Misal, melengkapi buku-buku, menggelar pelatihan buat remaja, atau menggenjot pembelajaran Alquran.

Bapang juga bersitegang dengan guru dan kepala sekolah anak-anaknya. Pasalnya, golongan pendidik itu berwawasan picik, karena beranggapan anak-anak yang nilai mata pelajaran eksaknya selalu sempurna, adalah anak-anak cerdas. Tidak demikian dengan anak-anak selain itu.

Ketegangan ini membuat Bapang memindahkan semua anaknya dari sekolah formal. Tentu, Bunda menentang. Baik Bapang maupun Bunda punya argumentasi sendiri-sendiri, yang saling silang. Ini memicu perselisihan yang menyulut opsi cerai!

Karakter tokoh Bapang dalam novel ini, entah mengapa, mengingatkan kepada karakter penulis terkenal, Tere Liye. Keduanya sama-sama berwawasan luas, kritis, doyan protes, gemar ceplas-ceplos, keras meneguhi pendapat, namun lucu, unik, dan tidak mainstream. Pago Hardian sendiri, sebagai penulis novel, mengakui kalau karakter Paguh mirip dengan karakternya sendiri.

Bapangku Bapunkku juga mengandung kritik terhadap sistem pendidikan formal di Indonesia yang dinilai kaku dan kurang adaptif terhadap gelombang perubahan zaman. Semua treatment yang dituangkan dalam kurikulum lalu diejawantahkan guru dalam kegiatan pembelajaran, justru membekukan daya kritis dan daya kreativitas siswa. Para penerus bangsa justru ditekan agar berpikir dan bersikap serba mekanis, layaknya mesin pabrik. Materi pembelajaran berjibun-jibun, banyak yang tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari dan masa depan, namun harus dipahami dan terutama dihafalkan agar dapat nilai bagus sewaktu ujian.

Kritik-kritik yang dilontarkan Bapang, mirip sekali dengan kritik-kritik yang dilontarkan dalam vlog-vlog di kanal Youtube Guru Gembul, ialah mengenai ‘amburadulnya’ pendidikan formal di Indonesia. Ribet secara administratif, namun kurang jelas benefitnya.

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. Dapat dihubungi lewat surel utomothomas@gmail.com

judul gambar
Indiva Media Kreasi, penerbit buku di Kota Surakarta, telah berkhidmat sejak 1 Agustus 2007. Mengusung tagline: Sahabat Keluarga.

Related Posts

1 of 5

Leave A Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *